Di tengah gejolak geopolitik yang semakin tak terduga, seruan untuk memperkuat pertahanan kolektif global semakin nyaring terdengar. Dari medan perang di Ukraina hingga ketegangan di Laut Cina Selatan, dunia menyaksikan pergeseran paradigma keamanan yang menuntut setiap negara untuk mengevaluasi kembali kesiapan dan investasi militernya. Dalam konteks inilah, desakan sekutu untuk rogoh kocek dalam-dalam perang NATO menjadi isu krusial yang mendominasi diskusi di koridor-koridor kekuasaan, menandai era baru dalam pembagian beban pertahanan di antara negara-negara anggota dan mitra aliansi.
Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), aliansi militer paling berpengaruh di dunia, kini menuntut komitmen finansial yang lebih besar dari para anggotanya. Kita akan menyelami akar sejarah NATO, meninjau ancaman-ancaman kontemporer yang mendasari desakan ini, serta menganalisis implikasi ekonomi dan politik bagi negara-negara sekutu, termasuk dilema yang dihadapi Jepang dan Spanyol. Pemahaman mendalam tentang dinamika ini esensial untuk memahami arah masa depan keamanan global.
NATO: Dari Perang Dingin hingga Tantangan Abad ke-21
Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) atau North Atlantic Treaty Organization (NATO) didirikan pada 4 April 1949. Aliansi militer ini lahir dari kebutuhan mendesak untuk menekan pengaruh ideologi komunis Uni Soviet dan aliansinya, Pakta Warsawa, pada era Perang Dingin. Semboyan “Animus in consulendo liber,” yang berarti “Sebuah pikiran tak terkekang dalam pertimbangan,” mencerminkan prinsip kolektifitas yang menjadi inti NATO.
Inti dari perjanjian pembentukan NATO adalah Pasal V, yang menyatakan: Para anggota setuju bahwa sebuah serangan bersenjata terhadap salah satu atau lebih dari mereka di Eropa maupun di Amerika Utara akan dianggap sebagai serangan terhadap semua anggota. Pasal ini menegaskan komitmen pertahanan kolektif, di mana serangan terhadap satu anggota sama dengan serangan terhadap seluruh aliansi, termasuk Amerika Serikat yang memiliki kekuatan militer terbesar. Menariknya, Pasal V ini baru diaktifkan untuk pertama kalinya dalam sejarah setelah serangan teroris 11 September 2001 terhadap AS, menunjukkan adaptabilitas aliansi ini terhadap ancaman yang berkembang.
Setelah bubarnya Pakta Warsawa dan Uni Soviet pada awal 1990-an, NATO menghadapi evaluasi ulang tujuan strategisnya. Alih-alih bubar, NATO justru beradaptasi dan memperluas lingkupnya, menjalin hubungan dengan negara-negara Eropa Timur dan bekas republik Soviet melalui inisiatif seperti Kemitraan untuk Perdamaian. Keanggotaan NATO pun terus bertambah, dari 12 negara pendiri menjadi 32 negara pada tahun 2024, termasuk Finlandia dan Swedia yang baru bergabung. Ekspansi ini, bersama dengan keterlibatan dalam operasi di Afghanistan, Libya, dan upaya kontra-pembajakan, menunjukkan evolusi NATO dari aliansi pertahanan regional menjadi aktor keamanan global yang multifaset.
Namun, evolusi ini juga membawa tantangan baru, terutama terkait pembagian beban. Selama bertahun-tahun, banyak anggota Eropa kurang memenuhi target belanja pertahanan yang disepakati, mengandalkan kekuatan militer AS. Realitas ini mulai berubah drastis seiring dengan munculnya ancaman yang lebih kompleks dan langsung.
Ancaman Global yang Mendorong Peningkatan Anggaran Pertahanan
Dunia kini dihadapkan pada spektrum ancaman yang lebih luas dan rumit dibandingkan era Perang Dingin. Konflik bersenjata di Ukraina yang melibatkan Rusia telah secara fundamental mengubah lanskap keamanan Eropa, menyoroti urgensi kesiapan militer dan kapasitas pencegahan. Rusia, yang membentuk Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (CSTO) sebagai tandingan NATO, kini dipandang sebagai ancaman langsung terhadap stabilitas regional dan global. Hingga Juni 2022, NATO telah mengerahkan 40.000 tentara di sepanjang sisi Timur aliansi untuk mencegah agresi Rusia.
Selain itu, kebangkitan militer Cina dan ambisinya di Laut Cina Selatan menjadi perhatian utama, tidak hanya bagi negara-negara Asia tetapi juga bagi sekutu transatlantik. Peningkatan aktivitas militer Cina menuntut respons strategis dari AS dan sekutunya, termasuk Jepang, yang berada di garis depan potensi konflik di Indo-Pasifik. Ancaman lain seperti terorisme, serangan siber, dan ketidakstabilan regional (misalnya di Timur Tengah dan Afrika Utara) juga terus menuntut sumber daya dan koordinasi yang signifikan.
Konteks ancaman yang semakin kompleks inilah yang menjadi katalisator bagi desakan sekutu untuk rogoh kocek dalam-dalam perang NATO. Para pemimpin aliansi dan Amerika Serikat secara khusus menyadari bahwa pertahanan kolektif tidak bisa lagi ditopang hanya oleh beberapa negara saja. Setiap anggota harus memikul beban yang proporsional untuk memastikan keamanan bersama.
Tuntutan Keuangan yang Melonjak: Dari Trump hingga Target 5%
Gagasan tentang pembagian beban yang lebih adil dalam NATO bukanlah hal baru. Mantan Presiden AS Donald Trump secara berulang kali mengancam akan menghentikan perlindungan AS terhadap sekutu NATO yang tidak memenuhi target belanja pertahanan. Pada era Trump, AS meminta Jepang untuk menaikkan belanja militer hingga 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) mereka.
Namun, tuntutan ini kini telah mengalami eskalasi signifikan. Kepala Juru Bicara Pentagon, Sean Parnell, pada Sabtu (21/6/2025), secara terang-terangan mendesak negara-negara sekutu, termasuk Jepang, untuk meningkatkan belanja pertahanan mereka hingga 5% dari PDB. Angka ini jauh melampaui target yang direncanakan oleh banyak negara.
“Negara-negara NATO mulai membahas target 5% dari PDB untuk belanja pertahanan. Sekutu kami di Asia harus mempertimbangkan langkah yang sama,” kata Parnell, menegaskan bahwa peningkatan anggaran ini akan memperkuat sistem pertahanan kolektif dan menciptakan pembagian beban yang lebih adil bagi semua pihak. “Ini bukan hanya soal keamanan kawasan, tapi juga menyangkut kepentingan jangka panjang rakyat Amerika.”
Sementara itu, komitmen belanja pertahanan terbaru NATO, yang telah disetujui oleh ke-32 negara anggotanya, menetapkan target yang juga substansial:
- 3,5% PDB untuk kebutuhan militer inti selama satu dekade ke depan.
- Tambahan 1,5% PDB untuk belanja terkait pertahanan seperti infrastruktur dan keamanan siber.
Paket ini dirancang untuk memastikan bahwa aliansi memiliki kapasitas yang memadai untuk menghadapi ancaman kontemporer, terutama dari Rusia, dan untuk mengurangi ketergantungan yang terlalu besar pada Amerika Serikat. Ini adalah langkah strategis untuk memperkuat kesiapan NATO secara keseluruhan.
Dilema Sekutu: Jepang dan Spanyol dalam Sorotan
Desakan untuk peningkatan belanja pertahanan yang signifikan ini tentu saja menimbulkan tekanan fiskal dan perdebatan politik domestik yang sengit di banyak negara sekutu. Dua studi kasus yang menonjol adalah Jepang dan Spanyol, yang masing-masing menghadapi tantangan unik dalam merespons tuntutan ini.
Jepang: Antara Aliansi dan Sensitivitas Domestik
Pemerintah Jepang saat ini tengah berupaya mencapai target 2% dari PDB untuk pertahanan pada tahun 2027, sesuai dengan strategi keamanan nasional terbaru mereka. Kenaikan hingga 5% yang diminta oleh AS akan menjadi lonjakan yang luar biasa dan dapat memicu gejolak politik dan ekonomi yang serius di Tokyo.
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Tokyo, Hiroshi Yamamoto, menyoroti posisi sulit Jepang:
“Jepang berada dalam posisi sulit, di satu sisi ingin menjaga aliansi strategis, di sisi lain menghadapi keterbatasan anggaran dan sensitivitas publik terhadap militerisasi.”
Konstitusi pasca-perang Jepang, yang dikenal sebagai “Konstitusi Perdamaian,” secara historis membatasi kapasitas militernya. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi pergeseran menuju interpretasi yang lebih fleksibel, tuntutan 5% PDB akan memerlukan perubahan fundamental dalam kebijakan fiskal dan mungkin memicu penolakan publik yang kuat terhadap apa yang dianggap sebagai “militerisasi berlebihan.” Ini adalah ujian besar bagi hubungan bilateral AS-Jepang, di mana Jepang harus menyeimbangkan komitmen aliansi dengan realitas domestik yang rumit.
Spanyol: Fleksibilitas atau Komitmen Mutlak?
Di Eropa, Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez sempat menegaskan bahwa negaranya tidak diwajibkan meningkatkan belanja pertahanan secepat negara-negara anggota NATO lainnya. Sanchez bahkan menunjukkan sepucuk surat dari Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte yang diklaim sebagai bukti bahwa Spanyol diberi fleksibilitas khusus. Dalam surat bertanggal 22 Juni yang diunggah Sanchez ke platform X, Rutte menyatakan:
“Saya dengan ini mengonfirmasi bahwa kesepakatan dalam KTT NATO yang akan datang akan memberikan Spanyol fleksibilitas untuk menentukan jalur kedaulatannya sendiri dalam mencapai target kapabilitas dan tahunan yang diperlukan sebagai bagian dari PDB, serta untuk menyerahkan rencana tahunan mereka sendiri.”
Namun, pandangan Sanchez mendapat bantahan dari sejumlah diplomat NATO. Seorang pejabat diplomatik NATO yang berbicara secara anonim kepada AFP menyebutkan bahwa tidak ada negara anggota yang diberi opsi untuk keluar dari komitmen tersebut. Diplomat tersebut menjelaskan bahwa surat Rutte memang menegaskan hak setiap negara anggota untuk menentukan bagaimana mereka akan memenuhi komitmennya, tetapi hal itu tidak berarti ada pengecualian bagi Spanyol atau negara lain untuk tidak memenuhi target yang disepakati.
Kasus Spanyol ini menyoroti ketegangan yang mungkin timbul antara kedaulatan nasional dalam menentukan prioritas anggaran dan tuntutan kolektif dari aliansi. Meskipun ada ruang untuk menentukan jalur implementasi, tujuan akhir – yaitu peningkatan signifikan dalam kontribusi PDB untuk pertahanan – tetap menjadi keharusan bagi semua anggota.
Implikasi dan Prospek Masa Depan
Desakan sekutu untuk rogoh kocek dalam-dalam perang NATO memiliki implikasi yang luas dan mendalam bagi masa depan keamanan global.
- Peningkatan Kesiapan dan Deterensi: Peningkatan investasi pertahanan akan secara langsung memperkuat kapasitas militer NATO, meningkatkan kesiapan operasional, dan memperkuat kemampuan deterensi terhadap potensi agresor. Ini adalah tujuan utama di balik semua tuntutan ini.
- Pembagian Beban yang Lebih Adil: Tuntutan ini bertujuan untuk mendistribusikan beban pertahanan secara lebih merata di antara semua anggota aliansi. Ini mengurangi ketergantungan yang tidak proporsional pada Amerika Serikat dan memperkuat rasa kepemilikan kolektif terhadap keamanan bersama.
- Dampak Ekonomi Domestik: Bagi banyak negara, peningkatan belanja pertahanan hingga 3,5% atau bahkan 5% dari PDB akan memerlukan realokasi anggaran yang signifikan, berpotensi memengaruhi sektor-sektor lain seperti pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur. Ini bisa memicu perdebatan politik yang panas dan tantangan fiskal.
- Stabilitas Regional: Meskipun bertujuan untuk memperkuat keamanan, peningkatan militerisasi yang cepat dan ambisius, terutama di Asia seperti yang diminta dari Jepang, dapat berpotensi memperkeruh stabilitas kawasan jika tidak diimbangi dengan pendekatan diplomatik yang seimbang.
- Masa Depan Aliansi: Bagaimana negara-negara sekutu merespons desakan ini akan menjadi ujian penting bagi kohesi dan relevansi NATO di abad ke-21. Kemampuan aliansi untuk beradaptasi dengan ancaman baru dan memastikan bahwa semua anggota berkontribusi secara adil akan menentukan efektivitasnya di masa depan.
Kesimpulan
Pada akhirnya, desakan sekutu untuk rogoh kocek dalam-dalam perang NATO adalah refleksi langsung dari realitas geopolitik yang berubah cepat. Dengan ancaman yang semakin nyata dan beragam, mulai dari agresi Rusia hingga ambisi Cina, kebutuhan akan pertahanan kolektif yang kuat dan tangguh menjadi tak terhindarkan. NATO, sebagai pilar keamanan transatlantik, kini menuntut komitmen finansial yang lebih besar dan lebih konsisten dari para anggotanya.
Meskipun tantangan dalam memenuhi target belanja pertahanan ini tidak kecil, seperti yang terlihat dari kasus Jepang dan Spanyol, prinsip pembagian beban yang lebih adil adalah fondasi bagi keberlanjutan dan efektivitas aliansi. Masa depan keamanan global akan sangat bergantung pada kesediaan negara-negara sekutu untuk berinvestasi secara serius dalam pertahanan, bukan hanya sebagai kewajiban, tetapi sebagai investasi fundamental dalam perdamaian dan stabilitas yang kita semua nikmati. Ini bukan lagi soal jika, melainkan bagaimana para sekutu akan melangkah maju dan memenuhi panggilan untuk memperkuat benteng pertahanan bersama di era yang penuh gejolak ini.